Sabtu, 14 Februari 2015

Hadiah Terindah untuk Seorang Ibu





Setelah cukup lama terdiam di sisi paling kanan sebuah pemberhentian, akhirnya aku kembali bergerak melaju perlahan-lahan. Memulai perjalanan baru menuju tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelum hari ini, lebih tepatnya rute yang baru; Kota Malang, Jawa Timur.

Meskipun sambil berkonsentrasi penuh dalam perjalanan, aku tetap dapat mengetahui sekaligus merasakan hal apa saja yang sedang dialami setiap orang yang berada di dekatku. Dari mulai jeritan yang mereka serukan, tangisan yang tak dapat mereka bendung, candaan yang mereka lontarkan satu sama lain, serta tawa yang menemani mereka selama perjalanan. Inilah salah satu kelebihan yang aku miliki.

Sore ini, aku terus menikmati pemandangan di setiap sisi kanan maupun kiri jalan. Namun di sisi lain, mendadak aku merasa suasana berubah menjadi sendu. Terdengar lirihnya suara tangisan yang diikuti oleh menetesnya bulir-bulir air mata. Dari jauh, aku dapat mendengar ‘si pemilik air mata’ itu bercakap-cakap dengan wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya.

“Bukankah Mbak Kannia pernah bilang bahwa jarak yang memisahkan mbak dengan Melody tidak akan membuat mbak menangis?”

“Distha, kamu itu adik mbak satu-satunya, maka hanya kamu yang harus mengerti bahwa mbak menangis bukan karena rindu. Sudah bertahun-tahun mbak berhasil menyulap rindu ini menjadi do’a tulus untuk setiap hal yang dilakukan Melody di sana. Mana mungkin rindu itu sekarang tiba-tiba berubah menjadi tangisan.”

“Lantas, mengapa mbak tiba-tiba menangis saat melihat foto wisuda milik Melody? Apa karena mbak tidak bisa menghadiri acara itu kemarin lusa?”

“Terkadang, mbak teringat akan kenangan-kenangan di masa lampau yang selalu dilalui bersama-sama oleh keluarga kecil mbak. Lebih tepatnya bersama Melody dan Mas Bram. Kelahiran Melody adalah hadiah terindah yang dianugerahkan Tuhan di hari ulang tahun pernikahan mbak dan Mas Bram yang kedua. Lambat laun, Melody mulai tumbuh dan berkembang menjadi gadis cilik yang pintar, di umur lima tahun ia memberi kami sebuah hadiah yang sangat tak ternilai harganya ketika ia sudah mulai bisa menulis, ia menulis sepucuk surat di ulang tahun pernikahan kami yang ke-7, surat tersebut berisikan do’a-do’a dan permohonannya agar Tuhan selalu menjaga keluarga kecilnya. Mungkin Tuhan mengabulkannya, Dis. Buktinya, mbak dan Mas Bram selalu terjaga meski Melody jauh dari kami berdua. Intinya, sejak kecil, selalu ada hadiah yang tak ternilai dari sosok Melody. Namun yang mbak sesalkan, mengapa mbak tidak bisa menjadi hadiah terindah di hari wisudanya. Hanya dengan datang menghadiri, itu sudah menjadi hadiah spesial untuknya. Tapi mengapa mbak tidak bisa melakukan itu. Mbak kecewa, Dis, terhadap diri mbak sendiri.”

“Mbak, bukankah semenjak Melody kecil, mbak dan Mas Bram selalu melakukan apapun untuknya? Distha rasa, apa yang Melody berikan terhadap mbak tidak bisa dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanan mbak selama ini. Bahkan, mbak rela berjuang sendirian demi kesembuhan Mas Bram dari penyakit gagal ginjalnya tanpa memberitahukan kepada Melody.”

“Kelak kamu akan mengerti, jika Tuhan telah menganugerahkan seorang anak kepadamu. Ibu memang menyayangi anaknya dengan sangat-sangat tulus. Karena ketulusan hatinya itulah seorang ibu tidak pernah mengharapkan imbalan apapun. Namun, jika sang anak berhasil membuat seorang ibu tersenyum bangga, ingin rasanya memberikan ucapan terima kasih pada sang anak, sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Begitupun yang dialami oleh mbak, Dis. Melody sudah menjadi hadiah terindah untuk mbak. Apalagi sekarang ia telah berhasil menjadi sarjana. Karena itu, mbak juga ingin menjadi hadiah terindah untuknya dengan selalu ada di saat ia membutuhkan kehadiran mbak disampingnya. Tapi mbak gagal. Mbak berhalangan hadir di hari wisudanya, hari yang begitu ia impikan sejak kecil”

“Mbak selalu bilang sama Distha, kalau Melody itu gadis bijaksana yang sangat menyayangi ayah ibunya. Distha yakin, kalau mbak jujur pada Melody, bahwa absennya mbak dari acara wisudanya bukan karena disengaja, melainkan harus menemani Mas Bram cuci darah, Melody akan mengerti dan tidak memprasangkai mbak hal-hal yang negatif.”

Sang Ibu tersebut diam meresapi kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh adik perempuan satu-satunya itu. “Mungkin ada benarnya, mengapa aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.” Batinnya.

Aku terus melaju dengan menaikkan kecepatan. Percakapan tersebut membuat batinku terisak dan menemukan sebuah kehangatan dari balik tulusnya kasih sayang seorang ibu. Seorang ibu selalu menganggap bahwa anaknya merupakan hadiah terindah yang dianugerahkan Tuhan. Meski sang anak kerap kali menjadi sosok yang ‘merepotkan’, namun seorang Ibu tidak pernah mengharapkan imbalan. Yang ada, seorang Ibu malah ingin selalu berada di samping sang anak, juga ingin menjadi hadiah terindah bagi sang anak dengan menjadi seseorang yang selalu ada ketika sang anak membutuhkan.

Itulah pelajaran baru yang kudapat sore ini. Meski aku berbeda dengan mereka, meski aku tidak ditakdirkan memiliki keluarga, namun aku tetap dapat merasakan hangatnya kasih sayang.


Aku, gerbong kereta api yang ditumpangi sang Ibu kala itu.