Setelah cukup lama terdiam di
sisi paling kanan sebuah pemberhentian, akhirnya aku kembali bergerak melaju
perlahan-lahan. Memulai perjalanan baru menuju tempat yang belum pernah aku
kunjungi sebelum hari ini, lebih tepatnya rute yang baru; Kota Malang, Jawa
Timur.
Meskipun sambil berkonsentrasi
penuh dalam perjalanan, aku tetap dapat mengetahui sekaligus merasakan hal apa
saja yang sedang dialami setiap orang yang berada di dekatku. Dari mulai
jeritan yang mereka serukan, tangisan yang tak dapat mereka bendung, candaan
yang mereka lontarkan satu sama lain, serta tawa yang menemani mereka selama
perjalanan. Inilah salah satu kelebihan yang aku miliki.
Sore ini, aku terus menikmati
pemandangan di setiap sisi kanan maupun kiri jalan. Namun di sisi lain,
mendadak aku merasa suasana berubah menjadi sendu. Terdengar lirihnya suara
tangisan yang diikuti oleh menetesnya bulir-bulir air mata. Dari jauh, aku
dapat mendengar ‘si pemilik air mata’ itu bercakap-cakap dengan wanita paruh
baya yang duduk di sebelahnya.
“Bukankah Mbak Kannia pernah
bilang bahwa jarak yang memisahkan mbak dengan Melody tidak akan membuat mbak
menangis?”
“Distha, kamu itu adik mbak
satu-satunya, maka hanya kamu yang harus mengerti bahwa mbak menangis bukan
karena rindu. Sudah bertahun-tahun mbak berhasil menyulap rindu ini menjadi do’a
tulus untuk setiap hal yang dilakukan Melody di sana. Mana mungkin rindu itu sekarang
tiba-tiba berubah menjadi tangisan.”
“Lantas, mengapa mbak tiba-tiba
menangis saat melihat foto wisuda milik Melody? Apa karena mbak tidak bisa
menghadiri acara itu kemarin lusa?”
“Terkadang, mbak teringat akan
kenangan-kenangan di masa lampau yang selalu dilalui bersama-sama oleh keluarga
kecil mbak. Lebih tepatnya bersama Melody dan Mas Bram. Kelahiran Melody adalah
hadiah terindah yang dianugerahkan Tuhan di hari ulang tahun pernikahan mbak
dan Mas Bram yang kedua. Lambat laun, Melody mulai tumbuh dan berkembang
menjadi gadis cilik yang pintar, di umur lima tahun ia memberi kami sebuah
hadiah yang sangat tak ternilai harganya ketika ia sudah mulai bisa menulis, ia
menulis sepucuk surat di ulang tahun pernikahan kami yang ke-7, surat tersebut berisikan
do’a-do’a dan permohonannya agar Tuhan selalu menjaga keluarga kecilnya. Mungkin
Tuhan mengabulkannya, Dis. Buktinya, mbak dan Mas Bram selalu terjaga meski
Melody jauh dari kami berdua. Intinya, sejak kecil, selalu ada hadiah yang tak
ternilai dari sosok Melody. Namun yang mbak sesalkan, mengapa mbak tidak bisa
menjadi hadiah terindah di hari wisudanya. Hanya dengan datang menghadiri, itu
sudah menjadi hadiah spesial untuknya. Tapi mengapa mbak tidak bisa melakukan
itu. Mbak kecewa, Dis, terhadap diri mbak sendiri.”
“Mbak, bukankah semenjak Melody
kecil, mbak dan Mas Bram selalu melakukan apapun untuknya? Distha rasa, apa
yang Melody berikan terhadap mbak tidak bisa dibandingkan dengan kasih sayang
dan pengorbanan mbak selama ini. Bahkan, mbak rela berjuang sendirian demi
kesembuhan Mas Bram dari penyakit gagal ginjalnya tanpa memberitahukan kepada
Melody.”
“Kelak kamu akan mengerti, jika
Tuhan telah menganugerahkan seorang anak kepadamu. Ibu memang menyayangi anaknya
dengan sangat-sangat tulus. Karena ketulusan hatinya itulah seorang ibu tidak pernah
mengharapkan imbalan apapun. Namun, jika sang anak berhasil membuat seorang ibu
tersenyum bangga, ingin rasanya memberikan ucapan terima kasih pada sang anak,
sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Begitupun yang dialami oleh mbak, Dis.
Melody sudah menjadi hadiah terindah untuk mbak. Apalagi sekarang ia telah
berhasil menjadi sarjana. Karena itu, mbak juga ingin menjadi hadiah terindah
untuknya dengan selalu ada di saat ia membutuhkan kehadiran mbak disampingnya.
Tapi mbak gagal. Mbak berhalangan hadir di hari wisudanya, hari yang begitu ia
impikan sejak kecil”
“Mbak selalu bilang sama Distha,
kalau Melody itu gadis bijaksana yang sangat menyayangi ayah ibunya. Distha yakin,
kalau mbak jujur pada Melody, bahwa absennya mbak dari acara wisudanya bukan
karena disengaja, melainkan harus menemani Mas Bram cuci darah, Melody akan
mengerti dan tidak memprasangkai mbak hal-hal yang negatif.”
Sang Ibu tersebut diam meresapi
kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh adik perempuan satu-satunya itu. “Mungkin
ada benarnya, mengapa aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.”
Batinnya.
Aku terus melaju dengan menaikkan
kecepatan. Percakapan tersebut membuat batinku terisak dan menemukan sebuah
kehangatan dari balik tulusnya kasih sayang seorang ibu. Seorang ibu selalu
menganggap bahwa anaknya merupakan hadiah terindah yang dianugerahkan Tuhan.
Meski sang anak kerap kali menjadi sosok yang ‘merepotkan’, namun seorang Ibu
tidak pernah mengharapkan imbalan. Yang ada, seorang Ibu malah ingin selalu
berada di samping sang anak, juga ingin menjadi hadiah terindah bagi sang anak
dengan menjadi seseorang yang selalu ada ketika sang anak membutuhkan.
Itulah pelajaran baru yang
kudapat sore ini. Meski aku berbeda dengan mereka, meski aku tidak ditakdirkan
memiliki keluarga, namun aku tetap dapat merasakan hangatnya kasih sayang.
Aku, gerbong kereta api yang ditumpangi sang Ibu kala itu.