Kamis, 18 Agustus 2016

Sisa

Di kala cerita lama menghempas benak
Apa mungkin pemilik panggung sandiwara memberi izin?
Akan kembalinya jiwa dan raga ke masa itu

Hanya bulir kenangan yang meresidu
Tanpa pernah bertanya; siapkah?

Rahang tiap insan memberi perintah
Lupakan saja lalu selesai
Namun, bisakah? Mampukah?

Yang ada tinggal pepatah
Yang meradang menjamuri pikiran
Bertahan atau melepaskan?

Menangis Pilu

Enyahlah!
Tak ada guna apapun dari tiap tetesan air mata
Hanya tercipta luka yang diam-diam terpancar

Pelupuk salah satu indera tak pernah berkhianat
Meski merasakan pedih dan perih bersamaan

Ketegaran tetap tertanam
Melantunkan butir demi butir kekuatan yang tersisa
Kepiluan memang kerap datang diam-diam, namun nyata tak terduga

Gadis itu berjalan menyusuri cerita lamanya
Mengembalikan tiap tangis ke tempat asalnya

Sebelum akhirnya bahagia menghampiri
Memerintahkannya untuk selalu menyungging senyum
Dengan berhenti menangis pilu

Di Bawah Hujan

Petrikor hadir kembali sebagai perumpamaan tiap rasa
Ada manis; bak pencuri angan yang diam-diam bercerita
Tentang cintanya yang belum berbalas
Namun masih melukiskan harap
Ada pahit; bak pujangga yang hidupnya diselimuti cemas
Tentang harapnya yang kini membelenggu hati sendiri
Berbalas namun tak terungkap

Hujan seolah menjadi saksi tunggal
Mengenai apa yang selalu terjadi pada tempatnya menumpu
Yaitu permukaan bumi yang tak pernah sepi air mata

Ada manis, ada pahit
Ada pula tercipta kombinasi atas keduanya

Tuhan tersenyum melihat makhluknya bersatu saling memiliki
Menenangkan perasaan masing-masing bersama gemuruh petir
Di balik hujan, di bawah hujan

Merajut Sepi

Menaruh asa pada pelangi senja
Bertemankan angan dan harapan yang nyaris pupus
Ketika kisah lama digulirkan kembali

Kesepian; satu kata berjuta makna
Di balik sembabnya satu dari lima indera
Tak ada yang aneh, semuanya wajar
Akankah sunyi dan sendu itu tersihir menjadi tawa?

Namun seutas tali membisu menjadi saksi pengkhianatan
Berujung kesendirian tanpa ada batas
Menyulap sekian banyak tanya menjadi jawaban tak terduga
Yang terkatakan tanpa banyak kata penjelas
Mungkinkah ini pertanda merundungnya keputusasaan?

Bayangan itu tersenyum dengan caranya
Meyakinkan akan adanya ramai setelah penat
Seperti sepi yang dirajut menjadi bahagia

Kenangan Hampa

Ketika kutulis banyak kata tanpa pernah mengungkapnya
Saat itu pula ku merindukan hadirmu beserta segala kenangan
Di antara kita, kisah itu pernah terukir melapisi kalbu
Lalu menengadah meminta pengakuan, sadarkah?

Tawa yang pernah tersulam menjadikanku diam, tak ada pilihan
Apa mungkin saudagar tangis telah mendusta?
Lalu menghilang di balik bayang-bayang harapan
Enggan meratapi pilu yang mengakar, terkibas angin ke sudut hati
Berusaha menyimpan canda yang selama ini nampak

Meski tak kuasa lagi menyempatkan angan bersabda
Terkucilkan pada setiap celah fatamorgana
Biarkanlah petrikor itu terasa dari balik rimbunnya dedaunan
Hingga akhirnya tersadar bahwa di sini, ada yang akan mencintaimu diam-diam