Makna bahasa
daerah secara tersirat tidaklah lain adalah identitas murni yang menggambarkan
suatu suku secara terperinci, karena pola perilaku, kebudayaan, maupun adat
istiadat, semuanya dapat tercermin melalui bahasa daerah yang digunakan.
Bahasa daerah, dua kata yang nyaris
tak pernah lagi dilirik terhitung sejak bergulirnya era reformasi. Mungkin
sekilas, bahasa daerah dan reformasi tidaklah memiliki ikatan yang erat, namun
apabila ditelaah dengan seksama, keduanya ternyata mengandung secercah kaitan.
Sebelum era orde baru mengalami kelengseran, masyarakat Indonesia seolah tak
pernah terlambat apabila dihadapkan dengan suatu hal yang berbau sejarah.
Masyarakat Indonesia selalu antusias dalam menyambut perayaan-perayaan
bernuansa sejarah, contohnya saja dalam memperingati hari-hari besar nasional.
Bahkan, ada pelajaran khusus yang disisipkan dalam kurikulum yang bertujuan
melawan lupa para siswa akan sejarah bangsanya, yaitu yang biasa dikenal dengan
akronim PSPB, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Dengan adanya upaya
tersebut, tentunya para peserta didik akan memahami lika-liku sejarah negara di
mana di dalamnya tidak asing lagi jika menemukan nama salah satu tokoh zaman
kolonial, yaitu Thomas Stamford Raffles. Beliau yang akrab disapa Raffles ini
memiliki andil yang cukup besar dalam perjalanan bahasa daerah di nusantara,
khususnya bahasa Sunda. Dalam buku History of Java disebutkan, bahwa beliaulah
yang pertama kali melakukan penelitian terhadap kebudayaan lokal. Sebetulnya,
beliaupun masih meragukan paradigma yang berkembang kala itu, yang menyebutkan
apakah Sunda itu adalah dialek atau merupakan bahasa sendiri. Melalui
penelitian pertama itulah, pada masa selanjutnya terdapat banyak cendekiawan
Belanda yang melalukan penelitian untuk mengkaji kebenaran akan paradigma
tersebut. Hingga akhirnya terbuktilah bahwa Sunda memang merupakan etnis yang
berdiri sendiri dengan segudang keunikan yang ada, yang tentunya banyak
mengandung perbedaan dengan etnis lain. Para cendekiawan Belanda tersebut
berpikir bahwa tiap wilayah atau daerah pasti memiliki keberagaman, dan
keberagaman itulah yang sebetulnya berpontensi besar untuk menjadi elemen yang
diunggulkan dari daerah itu.
Namun, berkembangnya zaman sekarang
ini malah banyak memunculkan stigma negatif terkait bahasa daerah. Pertama,
dalam aspek kerohanian, tidak jarang ditemukan para pemuka agama di beberapa
daerah yang lebih memilih memberikan wejangan kepada umatnya dengan menggunakan
bahasa Indonesia, padahal daerah tersebut dihuni oleh para penduduk asli, bukan
oleh pendatang yang tidak mengetahui seluk-beluk daerah setempat. Kedua, dalam
aspek sosial, tidak sedikit peserta didik yang merasa rendah diri apabila harus
menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari dengan teman sebaya
mereka di sekolah, yang lebih mengkhawatirkan lagi, banyak dari mereka yang
mengedepankan prestise antar teman dengan lebih memilih menggunakan bahasa
asing ketika berbicara. Lantas, untuk apa kita merasa kehilangan prestise
dengan berbahasa daerah apabila sebetulnya kita bisa meraih keunggulan dengan
menggunakannya?
Sekarang, kepedulian terhadap
sejarah sudah memudar. Tidak ada lagi yang peduli dari mana suatu daerah
dilahirkan, tidak ada lagi yang mencari tahu mengapa kita harus memuliakan
bahasa daerah, tidak ada lagi mempelajari jejak Raffles sebagai peneliti
pertama di bidang kebudayaan lokal Sunda. Dengan begitu, tidak akan ada yang
tahu apa manfaat dari keberagaman bahasa daerah yang ada.
Generasi muda memang benar-benar
diperlukan saat ini karena pada tangan merekalah masa depan bangsa digenggam.
Selanjutnya, semuanya berada pada pilihan kita, apakah akan membiarkan bangsa
tumbuh dalam kebutaan akan bahasa daerah? Tentu tidak. Mulailah melakukan perbaikan
dan lakukanlah antisipasi terhadap kepunahan bahasa daerah.