Jumat, 08 Desember 2017

Kepunahan Bahasa Daerah

            Makna bahasa daerah secara tersirat tidaklah lain adalah identitas murni yang menggambarkan suatu suku secara terperinci, karena pola perilaku, kebudayaan, maupun adat istiadat, semuanya dapat tercermin melalui bahasa daerah yang digunakan.
          Bahasa daerah, dua kata yang nyaris tak pernah lagi dilirik terhitung sejak bergulirnya era reformasi. Mungkin sekilas, bahasa daerah dan reformasi tidaklah memiliki ikatan yang erat, namun apabila ditelaah dengan seksama, keduanya ternyata mengandung secercah kaitan. Sebelum era orde baru mengalami kelengseran, masyarakat Indonesia seolah tak pernah terlambat apabila dihadapkan dengan suatu hal yang berbau sejarah. Masyarakat Indonesia selalu antusias dalam menyambut perayaan-perayaan bernuansa sejarah, contohnya saja dalam memperingati hari-hari besar nasional. Bahkan, ada pelajaran khusus yang disisipkan dalam kurikulum yang bertujuan melawan lupa para siswa akan sejarah bangsanya, yaitu yang biasa dikenal dengan akronim PSPB, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Dengan adanya upaya tersebut, tentunya para peserta didik akan memahami lika-liku sejarah negara di mana di dalamnya tidak asing lagi jika menemukan nama salah satu tokoh zaman kolonial, yaitu Thomas Stamford Raffles. Beliau yang akrab disapa Raffles ini memiliki andil yang cukup besar dalam perjalanan bahasa daerah di nusantara, khususnya bahasa Sunda. Dalam buku History of Java disebutkan, bahwa beliaulah yang pertama kali melakukan penelitian terhadap kebudayaan lokal. Sebetulnya, beliaupun masih meragukan paradigma yang berkembang kala itu, yang menyebutkan apakah Sunda itu adalah dialek atau merupakan bahasa sendiri. Melalui penelitian pertama itulah, pada masa selanjutnya terdapat banyak cendekiawan Belanda yang melalukan penelitian untuk mengkaji kebenaran akan paradigma tersebut. Hingga akhirnya terbuktilah bahwa Sunda memang merupakan etnis yang berdiri sendiri dengan segudang keunikan yang ada, yang tentunya banyak mengandung perbedaan dengan etnis lain. Para cendekiawan Belanda tersebut berpikir bahwa tiap wilayah atau daerah pasti memiliki keberagaman, dan keberagaman itulah yang sebetulnya berpontensi besar untuk menjadi elemen yang diunggulkan dari daerah itu.
            Namun, berkembangnya zaman sekarang ini malah banyak memunculkan stigma negatif terkait bahasa daerah. Pertama, dalam aspek kerohanian, tidak jarang ditemukan para pemuka agama di beberapa daerah yang lebih memilih memberikan wejangan kepada umatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia, padahal daerah tersebut dihuni oleh para penduduk asli, bukan oleh pendatang yang tidak mengetahui seluk-beluk daerah setempat. Kedua, dalam aspek sosial, tidak sedikit peserta didik yang merasa rendah diri apabila harus menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari dengan teman sebaya mereka di sekolah, yang lebih mengkhawatirkan lagi, banyak dari mereka yang mengedepankan prestise antar teman dengan lebih memilih menggunakan bahasa asing ketika berbicara. Lantas, untuk apa kita merasa kehilangan prestise dengan berbahasa daerah apabila sebetulnya kita bisa meraih keunggulan dengan menggunakannya?
            Sekarang, kepedulian terhadap sejarah sudah memudar. Tidak ada lagi yang peduli dari mana suatu daerah dilahirkan, tidak ada lagi yang mencari tahu mengapa kita harus memuliakan bahasa daerah, tidak ada lagi mempelajari jejak Raffles sebagai peneliti pertama di bidang kebudayaan lokal Sunda. Dengan begitu, tidak akan ada yang tahu apa manfaat dari keberagaman bahasa daerah yang ada.
            Generasi muda memang benar-benar diperlukan saat ini karena pada tangan merekalah masa depan bangsa digenggam. Selanjutnya, semuanya berada pada pilihan kita, apakah akan membiarkan bangsa tumbuh dalam kebutaan akan bahasa daerah? Tentu tidak. Mulailah melakukan perbaikan dan lakukanlah antisipasi terhadap kepunahan bahasa daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar