Selasa, 24 Maret 2015

Serpihan Kenangan dalam Senja

Semuanya terjadi ketika aku menyusuri senja yang sendu. Di sanalah kisahku berawal. Bagiku, dahulu senja adalah nikmat tak tergantikan yang hadir pada tiap penghujung sore. Di sana pulalah aku melukiskan bayangmu. Dan kata-katamu selalu datang menghampiri sebelum aku memulainya terlebih dahulu. Kamu selalu melontarkan sapaan hangat pada tiap senja, tiap sore, ataupun tiap beberapa menit menjelang sore itu tiba. Jika dibaca seksama, mungkin kata-kata sapaanmu itu tidaklah indah bak syair para pujangga di masa silam. Namun entah mengapa, aku begitu memaknainya.
Kamu adalah satu dari sekian banyak nikmat yang dianugerahkan Tuhan. Kamu adalah satu dari berjuta keindahan yang disajikan Tuhan. Dan lagi-lagi, aku memaknainya.
Dahulu, kerap kali aku terdiam di sudut ruangan, benar-benar menikmati semua kata-kata yang kamu tuangkan melalui beberapa pesan singkat perharinya.

Wuuussshh. Mendadak angin berhembus membuyarkan lamunanku, memporak-porandakan pikiranku yang menerawang jauh menuju kenangan masa lalu bersamamu. Membuatku terhenyak untuk beberapa saat, menyadari bahwa kamu adalah tidak lebih dari serpihan kenangan masa kecilku.
Sekarang, terhitung setengah dasawarsa sudah aku menikmati senja seorang diri. Tanpa ditemani makna-makna indah yang dahulu selalu aku dapatkan dari kata-katamu.
Tahukah kamu seberapa sakitnya memendam rindu? Tahukan kamu betapa pedihnya mengharapkan pertemuan?
Semoga, Tuhan menjagamu di manapun kamu berpijak. Dan semoga pula Tuhan menakdirkan perjumpaan di antara kita untuk yang kedua kalinya. Tidakkah kamupun berharap demikian, sahabat kecilku?

Sabtu, 14 Februari 2015

Hadiah Terindah untuk Seorang Ibu





Setelah cukup lama terdiam di sisi paling kanan sebuah pemberhentian, akhirnya aku kembali bergerak melaju perlahan-lahan. Memulai perjalanan baru menuju tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelum hari ini, lebih tepatnya rute yang baru; Kota Malang, Jawa Timur.

Meskipun sambil berkonsentrasi penuh dalam perjalanan, aku tetap dapat mengetahui sekaligus merasakan hal apa saja yang sedang dialami setiap orang yang berada di dekatku. Dari mulai jeritan yang mereka serukan, tangisan yang tak dapat mereka bendung, candaan yang mereka lontarkan satu sama lain, serta tawa yang menemani mereka selama perjalanan. Inilah salah satu kelebihan yang aku miliki.

Sore ini, aku terus menikmati pemandangan di setiap sisi kanan maupun kiri jalan. Namun di sisi lain, mendadak aku merasa suasana berubah menjadi sendu. Terdengar lirihnya suara tangisan yang diikuti oleh menetesnya bulir-bulir air mata. Dari jauh, aku dapat mendengar ‘si pemilik air mata’ itu bercakap-cakap dengan wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya.

“Bukankah Mbak Kannia pernah bilang bahwa jarak yang memisahkan mbak dengan Melody tidak akan membuat mbak menangis?”

“Distha, kamu itu adik mbak satu-satunya, maka hanya kamu yang harus mengerti bahwa mbak menangis bukan karena rindu. Sudah bertahun-tahun mbak berhasil menyulap rindu ini menjadi do’a tulus untuk setiap hal yang dilakukan Melody di sana. Mana mungkin rindu itu sekarang tiba-tiba berubah menjadi tangisan.”

“Lantas, mengapa mbak tiba-tiba menangis saat melihat foto wisuda milik Melody? Apa karena mbak tidak bisa menghadiri acara itu kemarin lusa?”

“Terkadang, mbak teringat akan kenangan-kenangan di masa lampau yang selalu dilalui bersama-sama oleh keluarga kecil mbak. Lebih tepatnya bersama Melody dan Mas Bram. Kelahiran Melody adalah hadiah terindah yang dianugerahkan Tuhan di hari ulang tahun pernikahan mbak dan Mas Bram yang kedua. Lambat laun, Melody mulai tumbuh dan berkembang menjadi gadis cilik yang pintar, di umur lima tahun ia memberi kami sebuah hadiah yang sangat tak ternilai harganya ketika ia sudah mulai bisa menulis, ia menulis sepucuk surat di ulang tahun pernikahan kami yang ke-7, surat tersebut berisikan do’a-do’a dan permohonannya agar Tuhan selalu menjaga keluarga kecilnya. Mungkin Tuhan mengabulkannya, Dis. Buktinya, mbak dan Mas Bram selalu terjaga meski Melody jauh dari kami berdua. Intinya, sejak kecil, selalu ada hadiah yang tak ternilai dari sosok Melody. Namun yang mbak sesalkan, mengapa mbak tidak bisa menjadi hadiah terindah di hari wisudanya. Hanya dengan datang menghadiri, itu sudah menjadi hadiah spesial untuknya. Tapi mengapa mbak tidak bisa melakukan itu. Mbak kecewa, Dis, terhadap diri mbak sendiri.”

“Mbak, bukankah semenjak Melody kecil, mbak dan Mas Bram selalu melakukan apapun untuknya? Distha rasa, apa yang Melody berikan terhadap mbak tidak bisa dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanan mbak selama ini. Bahkan, mbak rela berjuang sendirian demi kesembuhan Mas Bram dari penyakit gagal ginjalnya tanpa memberitahukan kepada Melody.”

“Kelak kamu akan mengerti, jika Tuhan telah menganugerahkan seorang anak kepadamu. Ibu memang menyayangi anaknya dengan sangat-sangat tulus. Karena ketulusan hatinya itulah seorang ibu tidak pernah mengharapkan imbalan apapun. Namun, jika sang anak berhasil membuat seorang ibu tersenyum bangga, ingin rasanya memberikan ucapan terima kasih pada sang anak, sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Begitupun yang dialami oleh mbak, Dis. Melody sudah menjadi hadiah terindah untuk mbak. Apalagi sekarang ia telah berhasil menjadi sarjana. Karena itu, mbak juga ingin menjadi hadiah terindah untuknya dengan selalu ada di saat ia membutuhkan kehadiran mbak disampingnya. Tapi mbak gagal. Mbak berhalangan hadir di hari wisudanya, hari yang begitu ia impikan sejak kecil”

“Mbak selalu bilang sama Distha, kalau Melody itu gadis bijaksana yang sangat menyayangi ayah ibunya. Distha yakin, kalau mbak jujur pada Melody, bahwa absennya mbak dari acara wisudanya bukan karena disengaja, melainkan harus menemani Mas Bram cuci darah, Melody akan mengerti dan tidak memprasangkai mbak hal-hal yang negatif.”

Sang Ibu tersebut diam meresapi kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh adik perempuan satu-satunya itu. “Mungkin ada benarnya, mengapa aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.” Batinnya.

Aku terus melaju dengan menaikkan kecepatan. Percakapan tersebut membuat batinku terisak dan menemukan sebuah kehangatan dari balik tulusnya kasih sayang seorang ibu. Seorang ibu selalu menganggap bahwa anaknya merupakan hadiah terindah yang dianugerahkan Tuhan. Meski sang anak kerap kali menjadi sosok yang ‘merepotkan’, namun seorang Ibu tidak pernah mengharapkan imbalan. Yang ada, seorang Ibu malah ingin selalu berada di samping sang anak, juga ingin menjadi hadiah terindah bagi sang anak dengan menjadi seseorang yang selalu ada ketika sang anak membutuhkan.

Itulah pelajaran baru yang kudapat sore ini. Meski aku berbeda dengan mereka, meski aku tidak ditakdirkan memiliki keluarga, namun aku tetap dapat merasakan hangatnya kasih sayang.


Aku, gerbong kereta api yang ditumpangi sang Ibu kala itu.

Minggu, 04 Januari 2015

Bukan Dia

Jauh sebelum peristiwa itu, bagiku senja selalu sempurna. Tak ada bagian yang perlu diubah, juga tak ada sela yang harus diisi. Namun saat ia berkata, “aku menyukaimu”, aku merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-kata yang ia lontarkan itu ambigu? Atau aku saja yang menganggapnya terlalu saru? Aku seakan terhipnotis. Mataku terbelalak kaget. Bukankah kata semua orang, rasanya disukai itu manis? Aku terkejut. Tak mampu bergerak. Statis. Karena dalam hati, ada sesuatu yang berontak, sesuatu yang terus membantin, “bukan dia bukan dia”. Aku tidak bisa menjelaskan kata yang tepat untuk mendeskripsikan rasa yang berkecamuk di hati kala itu, bahwa......... Bukan dia yang aku inginkan.

(dikutip dari Novel Remember When karya Winna Efendi, dengan beberapa perubahan)

Melibatkan Tuhan di antara aku, kamu, dan dia

Kata orang cinta itu aku dan kamu.
Ada juga yang bilang cinta itu segitiga. Aku, kamu dan Tuhan.
Tapi menurutku cinta itu segiempat. Aku, kamu, Tuhan, dan dia.
( dikutip dari salah satu postingan di kathyakhavia.blogspot.com )


Terkadang, sepasang manusia memang sengaja dipertemukan. Misalkan saja aku dan kamu.
Saat semuanya berjalan manis, terkadang aku lupa mengenai siapa yang telah membuat kamu datang padaku. Namun saat semuanya mulai pahit, barulah teringat jikalau Tuhan sedang memberi cobaan terhadap hubungan ini, yakni dengan menghadirkan dia sebagai salah satu takdir yang ada.
Mengapa Tuhan hanya diingat sebagai penghadir sosok dia di antara aku dan kamu? Barulah sadar bahwa selama ini aku salah. Aku hanya lupa, bahwa Tuhan jugalah yang dulu menghadirkan kamu ke dalam hari-hariku. Kamu yang selalu ada, selalu ada, hingga akhirnya tiada.
Seharusnya aku bersyukur, karena Tuhan sempat meminjamkan kamu yang merupakan salah satu makhluknya untuk menemaniku meski hanya sebentar. Salah satu dugaanku mengenai apa alasan Tuhan menghadirkan sosok ‘dia’ yang akhirnya memisahkan aku dan kamu adalah mungkin karena aku lupa oleh siapa kamu dikirimkan. Sedangkan mungkin, ‘dia’ lebih mengingat Tuhan dibanding aku saat dipertemukan denganmu.

Ucha's Quote (2)



Saat langit senja mulai terhampar, dulu aku selalu membayangkan kamu di sudut sana. Sedang apa dan siapa yang ketika itu terlintas dalam benakmu. Namun dengan sisa senja yang kumiliki saat ini, aku merasa lebih bahagia, karena aku tahu, di sudut sana kamu pasti sedang tersenyum bahagia bersama sosok dalam benakmu yang ternyata bukan aku. 

Dengan kata lain, aku turut berbahagia atas kebahagiaanmu.

Ucha's Quote (1)



Jika memang aku yang telah membuatmu mulai mengukir suatu kisah, aku akan pergi sesegera mungkin. Biar saja kamu melanjutkan ukiran kisah itu bersama seseorang yang selalu ada dalam benakmu, bukan bersama orang yang selama ini selalu mengharapkanmu.