Jumat, 15 Agustus 2014

Kesan Pertama



Sama sekali tidak terasa, satu minggu sudah putih abu-abu mendominasi hari. Kini, saya sudah tidaklah lagi merasa asing di sekolah. Ada teman, ada sahabat, ada untaian canda, ada gelak tawa, juga ada senyuman darinya. Dari dia, iya dia.
Saya tidak tahu harus memulai dari mana. Yang jelas, perasaan ini datang lagi, perasaan yang terus menghantui tanpa permisi, perasaan yang kini selalu mengingatkan saya terhadap semua hal tentangnya.
Saya tidak tahu harus memulai dari mana. Yang jelas, sudah lama saya tidak merasakan perasaan seperti ini. Jantung yang berdegup kencang, senyum yang tiba-tiba mengembang, tawa yang mendadak lepas, semuanya hanya muncul ketika waktu mempertemukan kami, mempertemukan saya dengan dia.
Saya tidak tahu harus memulai dari mana. Yang jelas, hati kecil saya mengatakan bahwa rasa ini lebih dari sekedar rasa kagum, ini berbeda, ini lebih.

Minggu, 10 Agustus 2014

Hadirmu



Hidup seakan kelabu sebelum aku bertemu denganmu. Aku lupa cara mengembang senyum, akupun lupa bagaimana cara melukiskan harap, juga lupa bagaimana cara mencinta.
Saat pertama kali bertemu denganmu, semuanya terasa tidak ada yang asing. Kamu seperti dikirimkan dari masa lalu, seperti seseorang yang memang ditakdirkan untuk menghuni ruang hatiku.
Terkadang, kita memang tidak bisa memilah rasa asin dan manis jika keduanya telah tercampur dalam satu ramuan rasa. Namun, aku tetap bisa memilah cinta di antara segala rasa yang ada.

Jujur.....
“Ada yang ingin kukatakan padamu sejak awal kita berjumpa”

Jumat, 01 Agustus 2014

Ada Pertemuan Maka Ada Perpisahan

Tahun 2010 adalah tahun di mana aku dan Icha dinyatakan naik ke kelas enam, juga tahun di mana kami mengalami puncak masa-masa pra-remaja. Kami berdua benar-benar menikmati tahun terakhir kami menjadi siswa berseragam putih-merah. Namun, masing-masing dari kami menjadi lebih pendiam, lebih mengurangi candaan disaat guru sedang memberi materi di depan kelas, lebih mengurangi jam bermain, bahkan jarang berkomunikasi via handphone ketika sudah tiba di rumah. Semua itu kami lakukan bukan atas dasar bermusuhan, kami hanya ingin lebih berkonsentrasi pada hari-hari menjelang Ujian Nasional yang akan mengantarkan kami menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Namun selepas itu, kami masih bersahabat baik seperti biasanya, seperti hari-hari kemarin.
Satu tahun itu akhirnya berlalu dengan membawa nilai hasil belajar kami selama duduk di bangku sekolah dasar. Nilai tersebutlah yang nantinya kami bawa untuk mendaftar ke SMP yang kami tuju. Sebelum berpisah, sekolah kami mengadakan syukuran kelulusan selama satu hari penuh. Secara tidak langsung kami menyadari, sebetulnya itulah hari terakhir kebersamaan kami di SD, hari terakhir kami bisa bergandengan tangan dengan sangat lama tanpa mau melepaskan, hari terakhir bertukar cerita dengan bertatap muka langsung, karena mungkin setelahnya kami hanya dapat berkomunikasi via handphone saja.
Sedih rasanya hati jika harus berhadapan dengan perpisahan. Namun apa daya? Sudah hukum alam, ada pertemuan maka ada perpisahan. Di gerbang sekolah, langkah kami berhenti, masing-masing dari kami harus pulang karena acara telah selesai. Kami sempat berjanji beberapa kata untuk meyakinkan bahwa persahabatan ini takkan pernah pupus. Hingga akhirnya kami saling berpamitan, dan yang paling pahit... Mengucapkan selamat tinggal, lalu melambaikan tangan.

.....Dan kamipun akhirnya berpisah untuk waktu yang sangat sangat sangat lama.....

Masa-Masa Pra Remaja



Tidak terasa, Bulan Juni 2009, sudah tujuh bulan aku bersahabat dengan Icha sejak November lalu. Rinai tawa persahabatan itupun turut mengantarkan kami pada tingkatan kelas yang lebih tinggi. Yeay, alhamdulillah! Kami dinyatakan naik ke kelas lima dengan perolehan nilai yang sangat memuaskan.

Liburan sekolah pun akhirnya tiba dan menyambut kami. Meskipun tidak terasa, dua minggu tanpa buku pelajaran akhirnya berlalu. Ya, waktu berlibur telah usai dan kini waktunya untuk kembali ke rutinitas semula, bersekolah.

Senin itu kami berjumpa kembali. Rindu rasanya, benar-benar rindu akan hangatnya persahabatan kami yang sempat di-pause dua minggu lamanya. Pelajaran yang lebih sulit di kelas V sudah menanti, kamipun menjalaninya dengan sepenuh hati, dengan diselingi tawa, dengan diselingi candaan masing-masing.

Namun, ada yang berbeda rasanya. Kami tidaklah lagi membicarakan kartun favorit, tidaklah lagi membahas acara televisi yang membosankan, sekarang berbeda. Ada hal lain yang lebih seru yang kami bicarakan tiap harinya. Tentang dia. Tentang kakak kelas laki-laki yang diam-diam aku kagumi, tentang teman laki-laki yang diam-diam Icha kagumi, mengapa jadi begini? Apa yang salah dengan kami?
Rupanya, kami sudah menginjak pra-remaja. Rasa yang tak biasa itu mulai hadir dengan sendirinya, tanpa diminta, dan tanpa pernah diundang lebih dulu. Kami menikmatinya, menikmati masa-masa pra-remaja yang takkan pernah bisa diulang kembali jikalau kami merindukannya ketika sudah dewasa nanti. Selama satu tahun, aku dan Icha menikmatinya, saling bertukar cerita, tanpa pernah ada yang disembunyikan.

Hingga akhirnya, kami naik kelas. Begitupun dengan persahabatan ini. Sama-sama naik tingkat, menjadi lebih erat, lebih bermakna.....

Sahabat Baru Di Lingkungan Baru



Aku duduk termangu-mangu di tepi jendela kamar, sambil memperhatikan keadaan luar rumah yang sepi sunyi tanpa ada satupun orang yang berlalu-lalang.
Pada saat itulah, aku teringat akan hadirmu.

Waktu berlalu dengan begitu cepat, menyisakan kenangan manis yang tidak akan pernah melapuk termakan zaman. Kenangan manis itu salah satunya berisi tentang kamu, bahkan tentangku juga, tentang kita, tentang persahabatan kita jauh sebelum hari ini, sebelum waktu menakdirkan kita untuk berpisah.

Enam tahun lalu, aku pernah menjadi seseorang yang asing saat menjadi siswa baru di bangku kelas empat sekolah dasar, lebih tepatnya di SDPN Setiabudi tercinta. Aku memasuki bangunan penuh makna itu dengan langkah gemetar juga dengan jantung yang kian berdegup kencang. Benar-benar penuh ketegangan untuk memasuki dunia baru. Masih belum mempunyai teman, belum mengenal siapa saja guru yang mengajar, masih sendiri, masih tanpa kamu.

Tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar untuk menjalani semuanya sendirian.

Selama tiga bulan, aku masih terkatung-katung mencari teman, berjalan dari bangku yang satu menuju bangku yang lainnya baik untuk sekedar berkenalan, bertukar cerita liburan, bahkan membagi kisah tentang sekolah lama yang baru kutinggalkan. Masih sepi tanpa hadirnya seorang sahabat. Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seorang gadis cilik nan jelita yang menyambutku masuk ke dalam kelompoknya dengan senyuman awal perkenalan. Namanya Maitsa Poetika Salifa, namun dia meminta agar aku memanggilnya ‘Icha’ saja. Nyaris mirip dengan nama panggilanku, bahkan tiga kata pada huruf belakangnya pun sama. Hanya saja dibedakan oleh huruf vokal di awal kata.

Dia Icha dan aku Ucha.

Siang itu, di ruang belajar kelas IV-A, guru menugaskan kepada kami semua untuk membentuk kelompok belajar. Namun sekarang, aku sudah lupa mata pelajaran apa yang ditugaskan saat itu. Yang jelas, disitulah perkenalan pertama kami, yang semakin hari semakin dekat seiring berjalannya kerja kelompok.

Disitulah kami mulai mengobrol lebih banyak dari biasanya, bertukar cerita lebih banyak dari biasanya, dan bersendagurau yang juga lebih banyak dari biasanya. Kami dekat, merasa cocok, memulai hari esok dengan duduk bersama, hingga akhirnya bersahabat.